Telah dibuatkan sebuah sangkar oleh seorang pemuda untuk burung kesayangannya. Sangkar itu begitu indah, jerujinya terbuat dari untaian emas yang tak ternilai harganya. Jeruji-jeruji itu terangkai menjadi sebuah sangkar teruntuk burung murai itu.
Orang akan iri jika melihat pemuda itu setiap hari dengan kasih sayangnya ia merawat burung itu.
Ia ajak burung itu bersiul. Kadang ia ingin burung itu dapat bersiul dan berkicau sesuai keinginan dia. Tapi burung itu lebih suka bersiul dan berkicau dengan segala keinginannya sendiri hingga pemuda itu ikut hanyut dalam kicauannya. Dengan segala keindahan yang dimiliki burung itu pemuda itu akan memberikan apa saja untuknya tanpa berniat untuk menerima apa pun dari murai itu.
Hari-hari berlalu dengan segala kebahagiaan yang dirasakan pemuda itu namun hari itu tidak seperti hari biasanya.
Pemuda itu melihat burungnya dengan penuh perhatian.
Segala perasaan tercurah hanya untuk sang murai tersebut.
Dia melihat, sambil ia bertanya pada murai.
“Bahagiakah engkau berada di dalam sangkar indah buatanku”.
Burung itu hanya diam tapi pemuda itu mencoba menyelami apa isi hati dari murai itu. “Aku tahu engkau tak bahagia, walaupun engkau sering berkicau untukku. Walaupun engkau terlihat gembira tapi aku tahu engkau merasa terkekang di dalam sana. Engkau mungkin juga tahu bahwa aku sangat menyayangimu.”
Sejenak kulihat murai itu mengangguk dengan apa yang pemuda itu utarakan.
Agaknya burung itu ingin mengungkapkan kalau dia juga menyayangi tuannya.
Tapi ada sesuatu yang membuat pemuda itu merasa janggal tentang murainya.
“Aku tahu wahai murai engkau ingin terbang bebas ke luar sana, terbang tinggi sekehendak hatimu. Bermain bersama teman-temanmu. Menikmati udara segar dunia luar yang belum engkau rasakan. Menuai keinginan yang engkau cita-citakan. Aku sebenarnya juga tidak ingin mematikan segala kemauanmu. Engkau berhak mendapatkan apa yang kamu mau.”
Pemuda itu terdiam dalam kebisuan untuk beberapa saat.
Mencoba menerobos segala relung hatinya, berfikir dan terus berfikir dengan segala kejernihan yang mungkin selama ini belum ia lakukan.
Mungkin butuh waktu yang lama hingga ia kemudian mengatakan.
“Baiklah wahai muraiku tersayang. Engkau tahu bahwa aku begitu sangat menyayangi dan mencintaimu. Tapi aku tahu bahwa engkau ingin bebas.
Terbang lepas setinggi yang engkau inginkan. Aku tidak mungkin memaksakanmu untuk tetap berdiam diri di dalam sana. Walaupun mungkin rumah yang aku buatkan untuk kamu sangatlah indah dan begitu tak ternilai harganya. Aku tahu kamu tidak membutuhkan keindahan itu. Yang kamu butuhkan adalah kebahagiaan tuk terbang bebas menghirup alam keduaniaan. Bermain, bercanda bersama teman-temanmu.”
“Baiklah……………..”
Pemuda itu kemudian perlahan membuka pintu sangkar murai itu.
“Pergilah ke luar sana wahai muraiku. Gapailah apa yang kamu idam-idamkan selama ini.”
Burung itu terdiam sejenak. Dia mungkin ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan sayangnya kepada tuannya dengan bahasanya sendiri.
“Tapi yang perlu engkau ingat wahai muraiku.”
Burung itu diam mendengarkan apa yang hendak diucapkan tuannya.
“Sangkar ini teruntuk aku buatkan hanya untukmu muraiku. Dan ini merupakan sangkar satu-satunya yang aku miliki. Aku berharap kelak atau entah sampai kapan engkau masih mau kembali atau singgah di sangkar ini wahai muraiku.”
Tanpa sadar pemuda itu meneteskan air matanya. Air mata kasih sayang yang timbul dari lubuk hatinya yang terdalam.
“Mungkin setelah engkau pergi sangkar ini akan kosong dan hampa.”
Pemuda itu yakin bahwa suatu saat akan datang murai baru yang akan mengisi sangkar emasnya.Tapi hingga saat itu pemuda itu masih menaruh harapan bahwa nantinya sangkar itu terisi oleh sang murai tersayang yang telah pergi darinya tersebut. Dia hanya bisa menaruh harapan pada murai itu dan tidak pada burung-burung yang lain. Walaupun mungkin sesekali ada burung yang mau singgah di sangkarnya kelak tuk saat ini ia belum tahu bisa menerima atau tidak. Mungkin akibat begitu besarnya rasa sayang pemuda itu pada murai tersebut hingga ia tidak tahu sampai kapan rasa sayang itu akan berubah. Dan mungkin pemuda itu hanya bisa menyimpan rasa sayangnya dalam hati sambil seiring waktu berjalan sesekali dia masih menyempatkan melihat pada sangkar emasnya bahwa murainya akan kembali lagi seperti dulu.
Hari berganti hari dan pemuda itu merasakan kehampaan yang sangat dalam. Duka nestapa seperti pemuda yang merasa kehilangan kekasih pujaan hatinya.
Ya..dan ia merasa sayap-sayapnya yang selama ini teguh kukuh mengikutinya terbang ke mana-mana, saat itu ia rasa sayapnya telah patah. Dalam perenungannya tiba-tiba ia berdiri dan mengucapkan,” Wahai Tuhan Yang Maha Adil, Engkau telah membuka mataku dengan cinta, dan dengan cinta engkau membutakanku. Engkau telah mengecupkan dengan bibir-bibirmu yang hangat dan memukulku dengan tangan-tangan-Mu yang perkasa.”
Pemuda itu kemudian beranjak dari tempat itu dan mencoba memperlihatkan semangat baru yang ia coba bangkitkan dari segala kesedihan. Mencoba mengembalikan sayap-sayapnya yang telah patah.
Dalam setiap harinya pemuda itu masih bisa melihat murainya itu berkicau di pohon dekat rumahnya dan sesekali pula murai itu pun seakan mengucapkan salam padanya. Pemuda itu pun membalas salam itu dengan senyuman dan dia melihat bahwa murainya itu sangat bahagia berada di luar sana, bermain bersama teman-temannya dan terbang bebas sekehendak hatinya.
“Wahai murai aku melihat kamu sangat bahagia berada di luar sana.
Tak pernah aku lihat kamu sebahagia ini sebelumnya. Gapailah segala yang kamu inginkan. “
“Aku pun akan merasa sangat bahagia walaupun mungkin hatiku ini tidak demikian”, kata pemuda itu dengan raut muka yang mencoba memancarkan kebahagiaan dari segala kepiluan, kesedihan yang dia rasakan sangat dalam adanya.
Waktu berjalan pemuda itu telah beranjak menjadi seorang yang sudah tua-renta. Sesekali masih ia sempatkan melihat sangkar emas itu. Sangkar emas itu masih utuh, masih seperti sedia kala sejak dibuatnya pertama kali. Tapi sangkar itu seperti telah kehilangan keindahannya sehingga tak satupun burung yang tertarik tuk tinggal di dalamnya walaupun sangkar itu terbuat dari emas yang tak ternilai harganya.
Siang telah melalukan sinarnya menuju malam kelam. Orang itu telah membaringkan tubuhnya di atas ranjangnya. Terlelap dalam buaian kehangatan sang Dewi malam. Malam itu terasa malam yang sangat panjang bagi orang itu karena menjadi malam terakhir baginya. Ia tidak bisa lagi menjemput fajar karena tidak bisa melewati malam itu. Dia sempat bermimpi sangatlah indah. Burung murai kesayangannya telah kembali ke sangkar emasnya. Murai itu mengatakan dengan bahasanya bahwa dia ingin menjadi penghuni sangkar itu. Dia ingin melakukan apa saja keinginan tuannya itu. Sungguh malam itu adalah malam terindah untuk orang itu. Keesokan harinya saat fajar telah membukakan tabir-tabirnya burung murai itu pun mulai memperlihatkan keindahan kicauannya.
Burung itu berkicau di dahan pohon dekat rumah orang itu. Burung itu mencoba melihat ke arah rumah itu.
“Tidak kudapati rumah yang sesepi ini dari sebelumnya. Ke manakah engkau wahai tuan yang telah merawat aku dulu. Ingin kuucapkan rasa terima kasihku kepadamu hingga aku dapat menikmati suatu kebahagiaan yang sangat aku dambakan,” ucap sang murai yang mencoba mengungkapkan dengan bahasanya.
Wallahu alam.
Terinspirasi dari buku Kahlil Gibran
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi blog saya. Silakan tinggalkan pesan di sini.